Perihal Guru Les

 

Menjadi mahasiswa di kampus ternama adalah impian semua orang. Bahkan impian semua orang tua di Indonesia pun menginginkan anaknya bisa kuliah di kampus tersohor seperti UI, ITB, ITS atau minimal bisa menempuh pendidikan dari instansi bergengsi seperti STAN

Bagi orang orang yang kurang beruntung, pada akhirnya mereka mengadu nasib dengan cara berkuliah di kampus swasta. Tidak semua kampus swasta itu jelek, ada juga yang bagus dari segi fasilitas dan kualitas dosen yang mengajar. Dan tentunya kampus swasta yang bagus pun gak murah. Ada harga ada kualitas, kalo ga bisa bersaing dengan isi kepala ya minimal bisa bersaing dengan isi dompet

Realitanya begitu. Sehingga tidak mengherankan kampus swasta terkadang diisi mahasiswa yang beraneka ragam kecerdasan dan kelakuannya. Ada yang masih bingung pakai microsoft word, masih bingung menghitung perkalian, sampai yang ga bisa bahasa inggris sama sekali. Bagi anak anak yang kecerdasannya mumpuni (tapi belum cukup mumpuni masuk ke kampus yang bagus) ini merupakan neraka karena kadang mereka terlalu bergantung sama murid murid yang pintar, dan bagi mahasiswa yang sedikit egois justru ini merupakan kesempatan emas karena ternyata saingannya tidak begitu banyak, sehingga mendaptkan IP sempurna akan sangat mudah

Ketika lulus pun para sarjanawan dari kampus kurang terkenal ini sering kali dipandang sebelah mata. Karena kalau dilihat dari lowongan yang berterbaran di dunia maya, rata rata mereka menginginkan lulusan dari “reputable university”. Dengan tanpa mencantumkan nominal gaji, para recruiter ini menutup kesempatan bagi lulusan kampus biasa untuk bisa unjuk gigi

Pada akhirnya mereka mengambil pekerjaan apapun. Mulai dari menjadi tukang ojek online, barista, penjaga toko hingga guru les. Di antaranya saya sendiri. Setelah sempat satu tahun frustrasi tidak ada satupun lamaran yang nyantol di meja HRD, saya pun mengambil pilihan terakhir dengan menjadi guru les. Jujur, menjadi guru bukanlah cita cita yang saya idam idamkan sejak lama, bahkan kerap kali saya hindari. Namun panggilan jiwa dan nasib selalu membawa saya kesana.

Berbekal kemampuan bahasa inggris yang saya pelajari otodidak dari lagu, film dan sedikit teori grammar ketika mengikuti english club selama mondok dulu, saya menilai kemampuan bahasa inggris saya tidak kalah dengan sarjana sastra inggris yang pernah saya temui

Hari pertama mengajar, saya tentu mengajar dengan antusias dan mengerahkan segala apa yang saya tahu tentang bahasa internasional ini. Mulai dari grammar sampai praktek speakingnya. Hari pertama bekerja yang sangat berkesan bagi orang yang sudah menganggur selama satu tahun.

Semakin lama saya mengajar, semakin banyak kelas yang harus saya handle mulai dari SD, SMP, hingga SMA. Tak hanya materi sekolahan tapi juga kelas tambahan percakapan bahasa inggris (conversation). Namun sayang, jumlah kelas yang dihandle tidak linear dengan banyaknya gaji yang didapatkan. Hiks, sedikit sedih tapi tetap dijalani karena in this economy dapat kerja aja udah syukur.

Hal paling bikin deg degan adalah ketika ajaran semester ingin berakhir dan murid murid menerima rapot berisi nilai nilai yang mereka peroleh. Ada beberapa orang tua (tidak semua) yang jika nilai anaknya jelek langsung menghubungi guru yang bersangkutan. Ini adalah momen paling mengerikan karena berakibat fatal terhadap intergritas dan kredibilitasan skill guru. Tapi alhamdulilah, hampir 30% murid yang saya ajar diantaranya berhasil memperoleh sepuluh besar pada semester itu (saya lupa tepatnya). Karena kemajuan ini saya pun mendapatkan bonus berupa uang. Sayang sekali ini tidak sering kali terjadi dan hanya di momen momen tertentu saja

Sebenarnya yang paling membuat saya senang atau terharu bukanlah seberapa banyak uang yang diperoleh, namun ketika saya mendengar kabar bahwa murid conversation saya diterima kuliah di Universitas Brawijaya, jurusan matematika. Ini merupakan kabar membahagiakan tidak hanya bagi saya tapi juga untuk semua guru. Ya rata rata guru disini pun tidak datang dari kampus yang terkenal, bahkan salah seorang guru ada yang mengatakan, “tau begitu aku juga ikutan tes masuk”.

Saya pun kadang merasa iri dengan murid sendiri karena mereka bisa masuk ke kampus yang mereka impikan, sedangkan gurunya sendiri masih bergulat dengan gajinya yang pas pas-an. Dulu belajar mati matian biar bisa sukses, tapi realtinya terbalik sekarang dengan ilmu yang didapat malah mensukseskan anak orang

Bukannya saya tidak ikhlas, tapi saya hanya menceritakan realitas dari dua sisi. Mungkin saya hanya sedih meratapi diri sendiri sambil membayangkan bagaimana seumpama saya bisa memutar ulang waktu.

Berkuliah di kampus terkenal bukan jaminan sukses di masa depan, tapi setidaknya bisa menjadi awal yang bagus untuk menempuh jalanan terjal tanpa takut terseok kanan dan kiri. Sedangkan bagi yang bukan dari kampus terkenal, perjalanan menuju kesuksesan itu akan sama terjalnya namun harus bersabar jatuh bangun. Atau jika tidak bisa bersabar, maka akan berakhir sama seperti saya hahaha


Comments

Popular Posts