Tidak ada yang boleh membandingkan Pak Putra dengan rekan rekan guru yang lain. Mulai dari fisik sampai kepribadiannya. Jelas Pak Putra itu berbeda. Beliau selalu menghimbau murid murid agar selalu masuk ke kelas ketika bel masuk berdering, sedangkan rekan rekan yang lain berbeda. Mereka akan masuk saja ke kelas dan mengacuhkan sekitar. Seolah mengajar sebatas menggugurkan kewajiban
Kalo membandingkan Pak Putra berdasarkan fisik, Pak Putra jelas kalah telak. Dia tercurangi sepenuh kecacatannya. Penyakit ini tidak bisa disembuhkan dan sudah merenggut separuh kehidupan, sisanya harus dia pungut dengan perjuangan. Menutup telinga dari ocehan, julukan jelek, cibiran, dibungkus oleh hinaan tetangga tetangga julid.
"Kurcaci kurcaci!"
"Ucok baba!"
"Monyet nyasar!"
Orang yang masih beradab pun, akan tertohok tepat di ulu hati jika dia mendengar ada anak anak bajingan yang menyerukan kalimat jahanam itu sambil urakan keliling gang gang. Karena demikian itu, menyesakkan dada sampai tak mau bernafas lagi
Pak Putra sabar. Melengos saja dia dikata-katain seperti itu. Ditambah jika di sekolah ada permasalahan dan tak ada seorang pun bisa memecahkan, Pak Putra akan dikambing hitamkan oleh teman teman guru yang suka ngomong di belakang. Tapi, kalau semua berjalan lancar sukses maka namanya saja takkan ada yang mau menyuarakan. Padahal dia juga terlibat dalam upaya sebuah kerja keras
Pak Putra adalah orang yang punya kepribadian tangguh. Dia sering mendapat petuah suci dari orang tuanya bahwa manusia sejati adalah orang yang tegar dan sabar. Kalau ada orang yang tidak sabar pasti dia bukanlah manusia.
Pak Putra sampai saat ini tidak tahu kalau ada anak yang bernama Adnan mengagguminya diam diam. Dia adalah penggemar Pak Putra sejak Pak Putra berdiri di podium itu. Awalnya Adnan sama dengan anak anak yang lain, meremehkan seseorang hanya lewat penampilan. Tapi ketika sudah mendengar Pak Putra berorasi layaknya Diplomat kelas dunia, Adnan terpukau. Setelah kejadian itu, dia suka memperhatikan bagaimana Pak Adnan berjalan, menyalami anak anak, gaya bicara sampai mengahafal stel baju yang suka beliau pakai sampe berhari berhari. Tapi anak anak yang lain, kerap memandang beliau sebelah mata. Masih menganggapnya guru hanya ketika jam pelajaran di kelas
Setelah shalat ashar, teras masjid dipenuhi muntahan manusia. Ada yang melipir ke pedagang jajanan, ada yang duduk duduk, ada yang nampang dengan ketampanan rekaan di teras masjid sehingga siswi bisa melihat dari dalam masjid lewat jendela. Saat waktu itu lah Adnan dengan luapan rasa kagum mendekati Pak Putra, ia berjalan, mendekat. Pak Putra yang tingginya tak lebih dari leher bocah SMP menyadari. Tatapannya menyambut Adnan terbuka, seperti sedia mendengar segala saran dalam berbagai bahasa.
"Pak, saya mau ngomong sesuatu"
"Ngomong apa?, ngomong aja"
"Gini pak, saya pengen banget belajar bareng sama bapak. Soalnya bapak nerangin pelajarannya enak banget!"
"Boleh boleh. Mau belajar mana dulu?"
"Bahasa Indonesia pak"
"Bisa bisa. Tapi jangan sekarang ya"
"Kenapa?"
"Ga apa apa. Sore ini saya pengen istirahat dulu"
Adnan diam sebentar dan mencoba mengingat sesuatu.
"Bapak emang tadi siang ngajar?"
"Enggak"
"Oh...", sebenarnya dalam hati mungilnya, Adnan ingin sekali mencela.
"Tapi, saya pengen ngabisin waktu saya sendiri saja. Sebentaaaar"
"Ya pak. Ga apa apa"
Ketika Pak Putra baru saja ingin berpaling pergi dan dia sudah menatap rumahnya di seberang jalan, dekat dengan gedung sekolah. Adnan berjalan cepat dan berkata, "Pak, aku boleh ikut ke rumah bapak?"
"Boleh", Pak Putra sedikit mengangkat tatapannya keatas. "Tapi, jangan belajar bareng dulu ya"
Bisa jadi maksud kata 'sendiri' adalah 'saya-lelah-mengajarkan-bocah-biadab-layaknya-teman-temanmu'. Tapi tak ada orang yang peka
Rumah Pak Putra adalah rumah sederhana subsidi pemerintah. Hanya sekian petak dan terdapat dua kamar. Satu kamar dipakai untuk istirahat, satu lagi di gunakan untuk tempat shalat. Memang seharusnya digunakan untuk istirahat anak atau tempat ia bercumbu dengan istri. Tapi, mau bagaimana lagi, dia tidak mempunyai keduanya. Untungnya, ada ruang tamu, ada TV terpajang yang tak pernah disetel di atas buphet, Pak Putra memang sudah jarang nonton TV sejak sudah ada Youtube. Kalau sampai dua hal ini tidak ada, maka tidak bisa disebut rumah milik orang normal
Adnan duduk, dan Pak Putra berbaring dengan headset tertancap di lubang telinga. Biasanya, dia bergumam sendirian, bernyayi mengikuti lirik lagu sebisanya. Lagu yang ia dengarkan adalah lagu lagu pop kekinian. Ed Sheeran, Shawn Mendes, pokoknya penyayi penyayi bule. Saking kencangnya headset itu menggebu gendang telinga, orang orang sampe lupa kalau dia pernah hidup. Karena ada Adnan di rumah, jadi dia jaim sedikit, walau tetap tidak elok dilihat muridnya seperti itu
Adnan memperhatikan tingkah gurunya ini
"Pak"
Tidak dijawab
"Pak?"
Tetap tidak dijawab
Adnan menowel pundaknya
"Eh iya... apa Dam?", Guru ini sontak mencabut headset itu, kemudian kabel kabel headset berkleweran, tak beraturan
"Adnan, paaak"
"Oh iya. Adnan!. Heheh, lupa lagi"
"Gini pak, kemarin waktu bapak selesai ngajar, saya ngeliat raut wajah bapak asem banget. Kayak ga suka gitu sama kelas delapan. Maafin kelas delapan ya pak"
"Oh.. gapapa"
Pak Putra mempunyai kata 'gapapa' yang jujur. Percayalah
"Ya pak, saya itu kasihan sama bapak. Bapak udah capek capek ngajar, kadang gak ada yang merhatiin. Sedih saya pak"
"Ga usah lebay begitu"
"Kadang orang orang suka ngeliat fisik dulu sih, daripada kualitas orangnya. Saya jadi tambah kasian sama bapak!"
Wajah Pak Putra mendadak berubah. Seperti sumbu telah habis tersulut hingga ke otaknya. Dia seperti orang marah, tapi ada jiwa lain yang masih bisa mensabar sabarkan.
"Kamu gak perlu ngasihanin saya. Yang terpenting kamu bisa dapet ilmu apa saja dari saya. Itu cukup!"
"Kenapa pak kalo saya ngasihanin bapak?, bukannya bapak bisa semangat lagi?"
"Hmmm, mending kamu sekarang keluar!. Kan saya tadi bilang pengen sendiri", Pak Putra mengalihkan pertanyaan itu, karena dia juga tidak punya jawaban yang bagus, yang ia tahu ini sangat menyakitkan
Adnan pun keluar. Dia ingin sekali sebenarnya merengek. Tapi tidak tahu kemana harus merengek. Semua orang tidak ada yang peduli padanya. bahkan orang yang ia kagumi sejauh ini