Kamu Boleh Tidak Percaya Diri : Babak Tiga


Banyak pengalaman bijak bisa diceritakan kepada anak cucunya jika Pak Putra menjadi orang yang kuat. Lagi lagi semua orang akan memandang dia dari fisiknya yang cacat, tapi bukan itu sebenarnya.


Hal yang paling membentur mental adalah ketika Pak Putra harus berhadapan dengan Agni. Bocah umur dua belas  tahunan yang kelakuannya terkutuk. Anak yang nakal seperti titisan iblis. Semua kata kasar yang pernah orang orang dengar ada di dalam mulutnya, tidak sopan terhadap guru, membantah dan kadang suka memfitnah teman temannya untuk pembelaan. Semua guru tau betul betapa bangsatnya anak ini. Sebagian guru menyerah dan tak mau menajdi wali dari angkatannya -meskipun tidak semua anak seperti itu, ada yang membiarkan -berfikir bahwa apa yang bocah ini lakukan bukan urusannya. Pak Putra tidak bisa menjadi mereka, Pak Putra hanya pasrah. kadang Pak Putra marah tapi tidak sampai mengeluarkan kata kasar. Paling hanya mengeluarkan suara keras yang setelah itu akan diulangi oleh anak anak untuk meledeknya.

Agni ini untuk kesekian kalinya di Panggil oleh Pak Aji, rekan Pak Putra sejak Pak Putra mengajar dua tahun lalu, tak hanya memanggil Agni, ternyata Pak Aji juga memanggil Wali Kelasnya, yaitu Pak Putra untuk menyelesaikan kelakuan anak ini.

Pak Aji bukan Wali Angkatan Agni, dia hanya ketua dari semua guru yang mojok di zona aman. Dia hanya melihat semua baik baik saja, padahal ada guru yang kebanjiran air mata karena saking susahnya meramut titipan anak anak durhaka

Pak Putra datang, Pak Putra melihat Agni, Pak Putra menahan amarahnya, bisa terlihat dari raut matanya.

"Pak Putra, tolong ini diselesaikan masalah Agni. Kata orang orang sekitar dia mencuri uang di laci tukang gorengan, sebelah kiri lapangan bola", Pak Aji meyakinkan seolah dia mampu melaksanankannnya sendiri.

"Baik"

Pak Putra mengintrogasi
"Kenapa kamu mencuri uang itu?"
"Bukan saya pak"
"Ngaku!"
"Bukan saya pak..."
"Terus siapa?"
"Ga tahu pokoknya bukan saya"
"Kenapa ada orang ngira kamu yang ngambil?"
"Kan saya jalan lewat gerobak itu"
"Terus?"
"Ya udah, gitu aja"
"Bohong!"

Agni diam

"Sekarang kamu jujur, kamu mencuri apa enggak?"
"Eggak pak.."
"Terus siapa yang mencuri?"
Agni diams sebentar, suara dengungan dari lehernya
"Abil pak"

Pak Putra membunyikan speaker untuk memanggil anak yang bernama Abil

Abil datang, masuk ke ruang kantor, dan kebingungan.
"Abil duduk sini"
Abil duduk
"Kamu yang mencuri uang tukang gorengan itu?"
"Bukan pak!"
"Kata Agni kamu yang nyuri"
"Bukan, saya gak lewat situ. Malah, saya gak pernah jajan disitu"

Pak Aji sudah pergi tepat setelah ia meyakinkan Pak Putra untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Pak Putra kebingungan.

"Pokoknya Agni harus nulis surat pernyataan"
"Surat Pernyataan apa pak?"
"Surat Pernyataan pengunduran diri"
"Eh pak? Gak mau...."
"Kamu sudah dapet Surat Peringatan dua kali lho..."
"Pak, saya gak mau...."
"Pokoknya kamu harus nulis, sekarang!. Ini belum seberapa dengan kasus pelanggaran kamu yang ga ketahuan"
Agni diam

Pak Putra mengambil kertas HVS dari rak sebelahnya, dan mengambil pulpen dari dalam pencil-case.
"Kamu mau nulis gak?"
"Nggak pak..."

Pak Putra menulis sendiri di atas kertas HVS yang barusan dia ambil. Dia meninggalkan kolom tanda tangan untuk bocah yang ia siap siap pulangkan kepada orang tuanya

"Tanda tangan disini!"
"Gak mau pak...", Agni ingin menangis, Syukurnya,  Pak Putra takkan peduli dengan tangisan buaya manapun

Semakin Pak Putra memaksa, anak ini semakin meronta. Meronta, menangis, menjerit seperti kejadian dia ingin disunat tahun kemarin. Suaranya terdengar ke penjuru ruang guru, bahkan sampai koridor sekolah. Sampai sampai anak yang lewat, akan keceplosan bertanya, "ada anak nangis ya?, kenapa?"

Pak Aji yang sedang makan bakso di kantin guru juga mendengar tangisan kesurupan itu. Dia langsung datang ke ruang guru, untuk mengecek apakah Pak Putra bisa menanganinya atau tidak

"Ada apa pak?"
"Agni saya suruh tanda tangan disini"
Pak Aji memeriksa kertas itu
"Pak!, jangan main keluarkan dulu. Kita perlu ajukan ini ke rapat guru dan yayasan!"
Pak Putra diam

"Bapak masa ga tahu tentang hal itu?"
"Maaf.... mungkin barusan saya kebawa emosi", Suara Pak Putra yang awalnya keras, perlahan lirih, karena dia mengakui kesalahan yang terulang

Agni mengelap air mata buayanya. Tangisan palsu itu ternyata berhasil menipu ketua guru yang sama halnya  dibenci oleh siswa.

"Kita gak bisa mengeluarkan anak seenak kita dong, harus sesuai prosedurnya. Kasian anak ini, namanya juga anak anak. Mereka butuh bimbingan. Butuh motivasi, dan kita gak boleh menyerah!"
"Baik pak"

Agni sebenarnya sedang cengingisan dalam hati, tapi dia menutupnya rapat rapat  mungkin akan dia luapkan ketika sudah berkumpul bersama  teman temannya yang masih satu arwah.

"Ya sudah kamu balik ke kelas"
"Baik pak", Agni salim kepada Pak Aji sebagai tanda kemenangan pribadi. Dan hanya dirinya yang boleh merayakan

"Saya itu, pengen bapak lebih dekat dengan anak anak kelas 8"
"Saya sudah mencoba pak. tapi mereka kadang menjauh"
"Memang seperti itu awalnya, saya dulu juga dibenci oleh mereka, tapi saya buat mereka senang aja. Terus, kalo mereka punya masalah saya dengarkan. Saya gak mau membiarkan orang lain atau diri mereka kesusahan. Kita setidaknya datang untuk mereka, untuk meringankan semuanya"
"Baik pak, nanti saya usahakan bisa dekat dengan mereka"
"Tidak ada yang tidak mungkin. Semuanya punya cara mereka masing masing dalam menjadi orang yang sukses, atau guru yang sukses"

Pak Putra beranjak dari tempat duduknya untuk pergi, entah kemana. Pak Aji menerima telpon, yang sebelumnya berdering
"Oh iya, sebentar"
menempelkan handphonenya ke dada
"Pak Putra, nanti bisa menemui pak-", Pak Aji menunda teleponnya, sejenak diam dan melihat pakaian identitas guru yang dikenakan Pak Putra, "Oh, ga jadi. Nanti saya ngomong ke Pak Roni"

"Oh baik pak"

Pak Putra kenal Pak Roni, Guru yang tinggi putih, dan selalu sempurna setiap dia berjalan, apalagi ketika ia mengendarai motor pria

Dan Abil sudah pergi lebih dulu bersama Aghni
Post a Comment (0)
Previous Post Next Post