Pinter Tapi Medioker

Stigma guru sebagai pekerjaan rendahan makin lama semakin bisa dirasakan. Orang tidak lagi merasa antusias jika mendengar seseorang didapuk sebagai guru, entah untuk sekolah negeri, swasta, atau guru privat sekalipun. Hal ini tentu saja didorong oleh banyak sekali pemberitaan bahwa gaji guru yang dianggap tidak layak, dan banyaknya orang menghindari pekerjaan ini. Saya sendiri sebagai guru bisa memahami, karena saya mengamati sendiri banyak rekan rekan kerja saya menjadikan guru sebagai batu loncatan alih alih batu pondasi

Menjadi guru di negeri ini relatif mudah. Siapapun bisa menjadi guru, selama yakin bahwa dirinya mampu. Tidak ada serifikasi, standarisasi, tes kemampuan jika kamu ingin menjadi guru. Kecuali, kalau kamu seorang PNS dan ingin mengajar di sekolah negeri. Banyaknya sertifikat, bergengsinya ijazah, dan tes yang kompetitif tentu diperlukan. Namun tidak seketat tes tes pada profesi lain seperti dokter yang memerlukan waktu yang panjang untuk sah bisa bekerja sebagai dokter di sektor kesehatan

Sehingga tidak mengherankan bahwa kolam profesi sebagai guru sering kali diisi oleh orang yang tidak kompeten. Saya mengatakan hal ini tidak dalam kapasitas sebagai pakar, peneliti, atau pemangku kebijakan. Namun berdasarkan pengalaman bertahun tahun, sejak saya menjadi guru di sebuah pondok pesantren hingga saat ini saya menjadi seorang guru les

Saya amat menikmati menjadi seorang guru. Bukan karena gajinya, tapi memang dasarnya dalam diri saya, saya suka mengajar dan belajar. Saya selalu haus akan ilmu. Saya selalu penasaran atas ilmu yang saya pelajari. Terutama mata pelajaran matematika. Saya tidak pernah mempunyai kesan buruk terhadap matematika seperti orang orang kebanyakan. Saya merasa saat saya sekolah dulu, saya tidak pernah menemui guru yang tepat. Sehingga saya selalu merasa bodoh

Saya baru bisa memahami matematika seutuhnya ketika saya duduk di bangku tiga SMP. Saat itu adalah tahun menjelang UN. Karena saya bertempat tinggal di pondok pesantren dan saya harus belajar sendiri, tiba tiba teman saya memberikan waktunya untuk mengajar saya. Itu adalah peristiwa yang tak pernah saya lupakan. Tanpa disadari, ternyata ilmu yang ia berikan masih saya pakai sampai sekarang ketika saya bekerja 

Namun di sisi lain, saya juga bukan orang dengan kemampuan matematika yang hebat juga. Saya masih cupu lah. Mungkin kemampuan matematika saya setara dengan murid murid SMP kebanyakan pada jaman dulu (saya tidak mengatakan murid SMP jaman sekarang karena banyak dari mereka yang tidak bisa perkalian susun). Saya saat ini masih bergulat memahami trigonometri, statistika, dan logaritma yang saya terlewatkan untuk mempelajarinya karena saya tidak memilih SMA sebagai jenjang setelah SMP.

Dengan level kepintaran yang serba pas pas-an ini, menjadi guru les adalah pilihan yang cocok. Tidak diperlukan rocket science untuk bisa mengajarkan rumus luas segitiga, atau lingkaran pada anak kelas enam SD. Jikalau harus menerangkan pun, belum tentu murid yang saya ajarkan mampu menangkap apa yang saya maksud

Saya tidak berniat menjadi guru matematika sebenarnya, awalnya saya hanya mempunyai ekspektasi menjadi guru bahasa inggris, karena itu satu satunya hal yang saya mampu. Saya mempunyai pengalaman mengajar sebenarnya, meski semi-semi profesional. Saya punya beberapa rekan guru yang mengajar secara profesional. Hal tersebut kadang membuat saya insecure meski saya masih berusaha untuk tidak pernah ambil pusing

Saya pernah berniat untuk alih profesi. Namun saya bingung, karena saya sendiri tidak mempunyai ijazah S1. Saya dulu pernah kuliah, dan sekarang mulai melanjutkan lagi. Ketiadaan ijazah membatasi segala kesempatan saya untuk bisa bekerja di perusahaan mentereng.

Yang saat ini saya lakukan adalah mempelajari mata kuliah dengan sungguh sungguh, memahami setiap detail penjelasan. Termasuk mata kuliah statistika, yang semakin dipelajari, semakin mengasyikan juga

Comments

Popular Posts