Pembicaraan Di Coffeeshop
Sebenarnya saya sudah mencoba melarang istri saya membeli buku itu. Tentu karena malu, karena saya tidak mau orang yang melihat cover buku itu bertanya tanya. "Hmmm, apa si wanita ini terlalu membesar besarkan masalah dalam berhubungan ya, sehingga ia harus membaca buku itu?". Saya menebak kalian juga memikirkan hal yang sama. Sehingga jelaskan kenapa saya melarang buku itu
Di toko buku, kami berdebat panjang tentang masalah ini. Ia menanyakan kenapa? saya jawab, "aku takut orang akan judging ke kamu". Justru ia menimpali lagi dengan, "kamu juga judging kok. Dengan adanya aku suka buku ini kamu langsung judging kalo aku punya masalah sama pasanganku. Ya kamu sama aja kayak mereka". Karena saya tidak mau masalah ini semakin berlarut larut, seperti di semua perkelahian seorang laki laki dengan pasangannya, saya mengalah. Dan saya membelikan buku itu untuknya
Alasan saya membelikan buku untuk istri saya didasari alasan saya ingin membuat istri saya rajin baca. Sebenarnya istri saya sudah rajin dalam melakukan banyak hal. Namun saya ingin setidaknya istri saya mempunyai wawasan yang sama dengan saya, meski harus dimulai dengan topik topik absurd semacam itu
Kembali ke coffeeshop....
Sesampainya di coffeeshop dan memesana dua gelas kopi kami duduk. Sebenarnya saya tidak hanya ingin membaca buku, saya juga ingin membuat laporan nilai untuk wali kelas. Namun sayangnya wifi disini busuk. Saya frustrasi. Saya pun memilih untuk memasukkan nilai lewat telepon genggam yang terhubunga dengan paket data.
Setelah selesai melaporkan nilai berupa nilai nama dan angka, alih alih membaca buku, kami berdua justru jatuh dalam sebuah pembicaraan
Saya tidak bisa menyebutkan isi ceritanya secara gamblang karena ini menyangkut teman dekat kami. Intinya, yang saya bisa nilai dari cerita istri saya, istri saya terlalu gampang kasian dengan orang lain. Bahkan ketika orang itu mempunyai sifat nyebelin.
(baiklah, untuk memudahkan penceritaan saya akan menulisnya, namun saya akan menyensor nama dan tempat)
Begini, ada sepasang pasutri yang sedang mempunyai masalah. Layaknya pasutri pada umumnya, masalah mereka tidak jauh jauh dari menyangkut keuangan. Si istri mengeluhkan banyak hal dengan istri saya, tidak hanya masalah uang tapi juga menyangkut segala hal terkait keluarga suami, dan keluarganya sendiri. Mendengar permasalahan itu istri saya pun iba karena beban penderitaan yang diceritakan. Namun, selalu saja, ditengah perempuan ini bercerita ia juga selalu menyombangkan banyak hal.
Ia selalu menyombongkan kemampuan ia miliki. Ia mengatakan ia bisa design, njahit, bahasa inggris, namun yang masih menimbulkan pertanyaaan. Kenapa perempuan ini tidak menggunakan skillnya untuk bekerja?
Ia mengatakan ia tidak bisa karena ia tidak mempunyai kendaraan. Yah baik, masuk akal. Namun tetap saja mendengarkan cerita istri saya bahwa ia menyombongkan banyak hal membuat saya geram dan anti-pati
"Aku ga punya alasan kenapa aku harus kasian sama orang ini"
"Ya karena kamu ga punya hati!"
"Sebenarnya aku kasian, tapi karena dia nyebelin jadinya seimbang. Jadinya ya aku ga ngerasain apa apa"
Istri saya terlalu baik, bahkan terlalu baiknya ia sempat berkata
"Apa es krim ini aku kasih ke dia ya?"
"Ngapain, kan dia ga minta"
Istri saya tertawa dan berkata, "Benar juga"
"Jangan terlalu ngelayanin dia. Nanti dia kebiasaan"
Tentu saya sedikit memberikan saran seperti, "Kamu daripada dengerin dia ngeluhin banyak hal dan nyita waktu kamu. Kenapa ga provide dia, misal kalo suaminya kerja dan dia kesusahan buat makan, suruh aja kerumah makan siang bareng bareng"
"Iya juga ya", katanya
Alhamdulilah, saran saya kali ini membantu
Saya mencoba untuk memahami masalah keluarga itu dengan serasional mungkin. Akar masalahnya adalah bapak dari suami perempuan itu.
Si suami adalah teman dekat saya sejak masih kecil, saya masih ingat berangkat ngaji bareng dengannya. Ia termasuk anak yang rajin, meskipun tidak begitu pintar ketika menjelaskan apa yang ia pelajari.
Hal lain yang ia miliki tapi tidak saya miliki adalah perilakunya yang masih sangat amat konservatif. Sebenarnya saya dan dia sama sama dari keluarga yang sangat konservatif, namun karena ketika kuliah saya suka bandel baca baca buku sains populer dan filsafat ada beberapa nilai tradisional yang sudah saya tinggalkan. Tapi tenang saja, saya masih mengerjakan solat kok. (Sepertinya topik ini lebih baiks saya bahas di tulisan lain)
Nilai nilai yang ia pegang ini membuatnya terlalu manut dengan orang tuanya. Namun orang tuanya sendiri mempunyai perilaku yang bisa dibilang disfungsional
Bapaknya kerja serabutan bermodalkan bengkelnya, ibunya tidak bekerja, dan neneknya bekerja sebagai pedagang sayur. Tentu semua itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sehingga si bapak menggantungkan segala kebutuhannya kepada si anak pertama, teman saya
Kalian jadi faham kan atau bahkan setuju dengan saya. Bahwa akar permasalahannya adalah si bapak ini?
Dan yang paling parah lagi, si bapak tidak mengijinkan teman saya untuk bisa tinggal pisah rumah dengannya. Ya, alasannya karena uangnya sayang untuk ngontrak dan lain sebagainya. Padahal itu cuman manipulasi aja biar teman saya ini menanggung segala kebutuhan rumah
Selain itu, teman saya ini bekerja di sebuah pabrik mentereng dengan gaji umr lebih dikit. Jauh lebih banyak dibanding saya, ditambah dia juga mempunyai adik yang bekerja juga. Namun dengan banyaknya orang yang berpenghasilan di rumah itu, tetap saja si istri ini selalu mengeluh terhadap istri saya. Bahkan untuk mengambil uang 13ribu di rekeningnnya, ia sampe harus minjam uang ke istri saya. I mean, what the fuck
Bukannya ingin membanding bandingkan, padahal bisa dibilang situasi ekonomi di rumah saya juga ga baik baik amat. Gaji saya saja masih terhitung dibawah UMR. Namun alhamdulilahnya, Allah memberkan saya istri yang cerdas, pemasukkan selalu saja ada. Entah orderan baju, makanan dan lain sebagainya. Jadi keuangan tidak pernah menjadi masalah bagi kami.
Intinya susah saya kasihan dengan orang orang semacam ini. Apa yang harus saya lakukan?


Comments
Post a Comment