murid impian

 


Satu minggu lalu, tepat di tengah ruang kelas tempat saya mengajar, saya berusaha menahan air mata. Bukan karena ada teguran dari guru lain yang menyakitkan hati saya, tapi lebih kepada sebuah kejadian dimana diri saya terbenam ke masa dimana saya masih berusia sama dengan murid murid yang saya ajar ini

Diantara murid saya terdapat seeorang murid. Perempuan, ia pendiam, ia selalu menuruti kehendak saya sebagai guru. Mengumpulkan buku PR, membaca soal, dan menjawab pertanyaan yang saya lemparkan. Pokoknya murid ini adalah tipe murid yang semua guru inginkan. Ia penurut dan pintar.

Namun saya merasakan hal lain. Bukannya senang, saya justru merasa iba. Karena saya seperti melihat diri saya yang dulu. Seorang bocah yang melakukan rutinitasnya dan menuruti apa yang diinginkan orang dewasa. 

Andai saja dia tahu bahwa suatu saat ia akan berakhir menjadi seorang guru, apa mungkin ia akan setenang itu menjalani hari. Barang kali saja ia akan melawan untuk mengikuti cita citany menjadi sesuatu, apapun selain menjadi guru

Dunia saya semasa kecil dulu mirip dengan bocah ini. Ada banyak alasan mengapa ia melakukan itu, pertama bisa jadi orang tuanya mendukungnya untuk berlakuan seperti itu. Dimana anak yang pendiam pasti selalu disanjung, dipuji. Sehingga itu menjadi dopamin, hingga ia akhirnya puas melakukan rutinitas tanpa meminta balik

Saya datang dari jenis keluarga yang kurang lebih sama. Anak yang kritis selalu saja di-cap sebagai anak nakal dan tidak kenal penderitaan. Itu yang terjadi pada adik saya. Karena saat itu saya tidak mau menjadi seperti adik saya, akhirnya saya berjuang untuk selalu menurut keinginan orang tua saya

Lalu apa yang terjadi? Saya tidak mengenali apa yang saya inginkan. 

Yah, kalo dipikir mengapa saya menghabiskan masa sekolah saya di pondok bukan didasari atas keinginan saya ingin memperdalam ilmu agama, tapi lebih kepada saya ingin melihat orang tua saya senang

Saya mempunyai banyak hobi saat di pondok saya dulu. Mulai dari menulis, berbahasa inggris, dan komputer. Andai saja saya mau melawan sedikit saja kehendak orang tua saya, saya pasti tidak akan berakhir seperti ini

Ini lah yang saya pikirkan saat saya melihat anak ini. Bagaimana jikalau, mengerjakan PR, atau bahkan mengikuti les seperti bukan apa yang ia sebenarnya inginkan. Ia ingin bermain atau belajar musik misalnya. Tapi ia tidak mampu mengatakanya, karena lingkungannya mendorongnya demikian

Tapi apapun itu, saya berharap anak ini tidak pernah membohongi dirinya sendiri. Saya harap di masa dewasa pikirannya tidak meletup begitu saja, hingga akhirnya ia menyakiti orang yang ia sayangi. Atau menyesali keputusan yang ia ambil.  

Saya benar benar melihat diri saya 15 tahun yang lalu. Seseorang yang pendiam, penurut, namun dalam hatinya ia menyimpan sesuatu.  

Comments

Popular Posts