bagaimana membaca kontrak kerja menjadikan saya seorang marxist

 

Saya bekerja sebagai guru les di sebuah lembaga di sebuah kabupaten di pinggiran Kota Jakarta. 

Menjadi guru les bukanlah cita cita yang awalnya saya inginkan. Dulunya saya lebih memilih menjadi software engineer atau tenaga IT. Namun semua cita cita itu harus pupus karena saya memutuskan untuk DO beberapa tahun yang lalu

Akhirnya saya terjebak di tempat ini dan menjadi seorang guru adalah pilihan terakhir. Kalau kata Mbah Karl Marx, saya tengah teralienasi. Karena menjadi guru bukan merupakan aktualisasi diri saya. Anjay

Gimana, udah kedengeran kayak mahasiswa baru filsafat belum? Wkwkwkwkw. Intinya, gitu deh banyak hal berkaitan dengan pekerjaan sebagai guru yang membuat kepala pening dan mempertanyakan, "kenapa gue nglakuin hal ini ya?"

Tapi meski begitu, tidak kerasa saya sudah melakukan rutinitas mengajar selama satu tahun lebih. Bukan karena saya ingin, tapi karena saya harus. Saya sudah menikah dan saya harus menjadikan dapur ngebul di akhir bulan

Alhamdulilah, saya mempunyai istri yang suportif dan membantu dari segi ekonomi. Jadi saya tidak tersiksa siksa amat dalam urusan mencari nafkah

Selama satu tahun mengajar, saya menjumpai banyak sekali rekan guru yang datang dan pergi. Belum ada setahun langsung pergi, bahkan yang baru baru ini baru ngajar tiga minggu udah memutuskan untuk resign. Entah alasannya apa

Kalau saya hitung hitung yang tahan lama mengajar di tempat ini bisa dihitung oleh jari. Tidak jelas mengapa pergi begitu saja. Saya hanya mendengar alasan mereka simpang siur dari guru guru lain yang aktif dalam dunia pergunjingan. Sebagian besar penyebabnya ditengarai oleh terlalu banyakna tugas yang diemban

Selain mengajar, para guru di tempat saya harus memasukkan nilai dan membuat soal. Saya tidak akan membicarakan seputar gaji, karena pasti diantara kalian sudah tahu lah berapa gaji rata rata seorang guru di negara ini wkwkwk

Hal ini lah yang menjadikan owner bisnis kami -mungkin sedikit geram. Alhasil, beliau membuatkan kontrak yang bebas ditanda tangani oleh para guru. Tujuannya, supaya ada janji dan kesepakatan apa yang terjadi jikalau ada guru yang tiba tiba cabut tanpa sebab

Tidak hanya owner bisnis saya yang merasa gusar, saya pun juga merasa gusar. Pasalnya, saya saat ini juga sedang mengincar sebuah perusahaan untuk bekerja di sana. Saya sudah melamar di tempat tersebut, namun belum juga diundang untuk menghadiri interview. Saya kuatir jikalau saya tiba tiba disuruh berangkat kerja di hari pertama, saya harus memberikan keterangan. Dan keterangan tersebut belum tentu di-ACC. Karena harus melalui beberapa proses hingga akhirnya resign saya diterima

Saya bisa jamin seumpama saya yang resign, pasti saya akan melalui cara yang beretika sehingga tidak ada bad feeling ketika tempat kerja saya melepas saya

Singkat cerita, Leader saya mengirimkan file kontrak kerja tersebut, saya membacanya dan menggaris bawahi apa saja yang masih mengganjal atau barang kali bisa menjadi isu di masa mendatang. 

Semakin saya membaca semakin saya merenung. Apakah ini yang diimpikan oleh para tokoh pergerakan kaum buruh jaman dulu? Dan akhirnya saya mulai ngulik lagi tentang pemikiran Karl Marx

Ternyata pemikiran Karl Marx merupakan alat ajaib untuk menimbang untung dan rugi dari kontrak kerja ini

Jam Kerja 

Hal hal yang saya timbang antara lain salah satunya adalah berkaitan dengan jam kerja.  Jam kerja saya dimulai pukul 10:00 sampai pukul 20:30. Saya bersyukur pekerjaan saya bukanlah pekerjaan yang mengandalkan otot. Saya hanya perlu menyiapkan kekuatan otak saya untuk bisa menjawantahkan pelajaran sekolah. Menjadikan pelajaran sekolah bisa dijelasakan dengan cara sesederhana mungkin. 

Waktu kerja tersebut lumayan manusiawi, meskipun saya sendiri harus merelakan tidak bisa menyaksikan sunset sore saat pulang kerja.  Yah, setidaknya saya mendapatkan uang makan sehingga saya tidak merasa sedih sedih amat

Namun, ada sedikit kejanggalan. Karena tidak tercantum waktu istirahat untuk solat jumat. Di kontrak tersebut tertera bahwa waktu istirahat dimulai pukul 12:00, which's itu adalah waktu yang mepet bagi saya untuk bisa berangkat ke masjid. 

Memang, menurut Marx sendiri agama adalah candu dan pastinya ia akan marah dengan apa yang saya lakukan. Alih alih memperjuangkan waktu kerja bisa dikurangi seadil mungkin demi aktualisasi diri saya sebenarnya. Eh, saya hanya melakukannya hanya agar memuaskan candu saya terhadap agama

Cuti Kerja

Hal yang membuat saya lega adalah jatah cuti kerja berjumlah 7 hari dalam setahun. Ini menjadi kabar gembira bagi istri saya karena saya bisa merencanakan pulang kampung ke kampung halaman. Syaratnya saya hanya perlu mengkabarkan seminggu sebelum akhirnya cuti itu di-ACC. 
 
Well, pertanyaan pun muncul. Cuti merupakan hak saya tanpa harus mengurangi upah, namun bagaimana jika saya tiba tiba sakit. Sakit tidak bisa direncanakan. Apakah itu mengurangi jatah cuti saya? Atau malah mengurangi gaji pokok yang seharusnya saya dapat secara penuh?
 
Tentu memperjuangkan gaji yang layak bukanlah hal yang diharapkan Marx untuk melawan sistem kapitalisme ini. Karena yang ia impi impikan adalah memusnahkan sistem kapitalisme ini dari dunia tanpa tersisa. Tapi ini hal yang paling kecil yang bisa saya lakukan. Jangan sampai saya yang sedang sakit menganggu hak kerja saya
 

Alienasi

Kontrak kerja menjadikan saya mulai terasing. Saya kembali mempertanyakan apakah saya (akan) bahagia mengajar untuk seluruh hidup saya
 
Saya teringat ketika saya pertama kali mengajar. Saya merasakan bahwa saya sedang jatuh cinta dengan mengajar. Karena setiap hari saya belajar hal baru. Tentang anak, tentang pelajaran, tentang memahami manusia, tentang bagaimana saya me-review apa yang sudah saya fahami
 
Hal hal seputar mengajar yang saya cintai ternyata bisa memudar, apalagi ketika saya dihadapkan oleh tugas tugas yang tidak ada kaitannya. Seperti pengumpulan nilai atau keluhan orang tua perihal anaknya yang tidak merasakan dampak dari apa yang saya ajarkan. 
 
Kontrak kerja menyadarkan saya bahwa saya dengan apa yang saya ajarkan harus kian memisah. Jika, murid yang saya ajarkan mendapatkan nilai bagus atau mendapatkan peringkat di kelas. Itu bukan berkat saya, tempat saya bekerja mendapatkan kredit atas itu sehingga bisa mendapatkan lebih banyak murid. Yang mana banyak murid  = banyak pemasukkan.
 
Memang ada rasa puas dan ada bonus yang didapatkan. Tapi apakah sepadan dengan konsep pendidikan yang saya bayangkan. Saya tidak lagi bisa mengembangkan proses pengajaran secara kreatif karena apa apa sudah diatur
 
Secara tidak sadar, saya tidak mempunyai kendali atas cara saya mengajar yang saya inginkan. Jadi mau orang ngomong apapun tentang pekerjaan saya sebagai guru bahwa guru harus bermoral lah, berakal budi lah, berwawasan lah sepertinya tidak ada artinya lagi karena pekerjaan guru pun sudah disamakan bagai buruh pabrik. 
 

Comments

Popular Posts