Programmer Commits


post ini akan diupdate secara berkala, sesuai dengan mood penulis. Terus jaga mood penulis dengan memberikan komentar positif, jikalau dijumpai banyak kekurangan, silahkan berikan kritik dengan lembut. Namun, sesekali komentatir boleh bersikap  sarkas/satir juga tidak apa apa. Selamat menyimak

Membicarakan Sekolah

Selama bersekolah di sekolah kejuruan, saya mengakui banyak sekali kekurangan, keterbatasan. Saya merasakan ini entah mungkin karena saya kurang mensyukuri segala hal yang seharusnya bisa saya manfaatkan, atau memang kondisinya tidak memungkinkan untuk terus tumbuh dan belajar

Yang saya tahu, saya bersekolah dan mondok untuk memperlajari ilmu agama. 24 jam digunakan untuk berada di lingkungan pondok pesantren yang terisolasi akan segala sesuatu berbau teknologi. Menurut para petinggi pondok seperti pinisepuh dan guru mubaligh, alat alat elektronik hanya terus membawa kemudhorotan. Membawa laptop, telepon genggam, dan MP3 Player hanya akan mendorong anak anak untuk beraktifitas lahan (lahan: segala sesuatu yang bisa menyebabkan seorang hamba melupakan Allah). Saya akui itu memang terjadi, saya teringat ada kamar yang setelah digrebek, dijumpai beberapa benda elektronik, kata penghuni kamar,  mereka sering nonton film, mendengarkan musik, bermain games seusai pengajian. Hal tersebut benar benar dilarang, karena tidak mematuhi aturan pondok dan esensi mondok sebenarnya. 

Tapi, itu bukan berarti saya tidak bisa menyentuh benda eletronik sedikit pun. Saya sering nyolong nyolong pergi ke perpustakaan, tempat sakral yang tak boleh didatangi oleh santri santri biasa. Hanya santri santri dengan dapukkan tertentu yang diijinkan masuk. Karena, di tempat itu para santri yang sudah didapuk akan mengerjakan tugas tugas mereka, seperti membuat laporan, mengubah video, mendesign poster, dsb. Termasuk saya. Saya terdapuk juga, dan menggunakan kelonggaran itu untuk mengeksplorasi keahlian saya lebih jauh.

Apa keahlian saya?, saya sebenarnya kurang pantas apabila menyebutnya sebagai keahlian. Karena saya pun belum merasa ahli dalam bidang tertentu seperti pemograman, menulis, dan mendesign. Terkadang orang orang salah presepsi bahwa saya jago dalam kesemua bidang tersebut. Padahal kenyataannya, TIDAK!. Saya amat sangat biasa saja. Saya hanya suka belajar, yang dimana, tidak banyak orang rela melakukan hal itu sewaktu mereka mondok

Yang dilakukan teman teman saya ketika mondok adalah hal yang sebenarnya bisa dilakukan dimana saja. Yaitu, berteman. Mencari teman sebanyak mungkin, Teman wanita kalau bisa, sebanyak banyaknya. Karena itu akan membuatmu menjadi tampak lebih keren. 

Sedangkan saya hanya fokus pada sebuag tujuan. Yaitu, apa yang saya lakukan setelah mondok. Apa yang saya lakukan slain melakukan dakwah dan menyampikan tafsir alquran ke daerah daerah silih berganti. (meskipun pada akhirnya saya ditugaskan untuk mengabdikan seluruh ilmu saya di pondok pesantren, kita bisa anggap sama saja). Karena, itu terlalu biasa. Saya tak sanggup hidup biasa biasa saja mengikuti standar orang orang biasa.

Hal hal yang saya ketahu tentang teknologi sewaktu bersekolah hanya lah tiga, 
1. HTML
2. Debian
3. Merakit PC

ya hanya ketiga hal itu. Sama sekali saya tak tahu jalur yang harus saya kerjakan. Jika ada materi di direktori D tentang CSS, maka saya ambil. Saya pelajari hingga waktu praktik kejuruan selesai. Guru enggan sekalli mengajar, apalagi, apabila banyak sekali teman teman saya yang suka menghabiskan waktunya di lab untuk bermain games, menyetel musik, dan menonton film. Jarang sekali yang belajar. Menurut mereka, jam di lab komputer adalah sebuah surga, setelah mereka terkekang di dalam pondok yang terisolasi dari segala hiburan. (Hanya olah raga, bagi yang tak terhibur dengan menonton olah raga, atau memainkannya. Lebih baik mengambil selimut, dan tidur di pojokan masjid). 

Saya pun juga seperti itu. Namun, beruntungnya saya masih bisa menyeimbangkan antara bermain dan belajar. Saya suka menyusun konfigurasi server dengan Debian mulai dari router hingga Mail Server sambil mendengarkan lagu lagu screamo. Setidaknya saya tahu apa yang saya harus lakukan.

Entah apa jadinya jika sekolah saya dipenuhi guru yang bergelora untuk mengajar dan mebagikan konsep teknologi, jika sekolah saya setidaknya tersohor seperti sekolah sekolah yang lain, jikalau fasilitas komputer lebih memadai untuk membangun server yang nyata. Apakah kerja keras saya sepadan? Layaknya teman saya yang bernama Mas Bowo?

Membandingkan

Saya mempunyai teman. Namanya, Bowo. Atau saya biasa menyapanya Mas Bowo. Menurut saya, dia adalah orang yang cerdas. Kami hanya terpaut beberapa tahun saja. Berhubung saya tak memiliki akses cukup terhadap teknologi, maka mendengarkan segala wawasan yang berasal dari mulutnya adalah sebuah kemewahan tersendiri bagi saya. Biasanya sepulang amal solih membersihkan rumput saya akan mendatangi UKP (Usaha Kesehatan Pondok), untuk sharing seputar linux dan teknologi. Jika pada hari itu saya sekolah, saya akan menyampaikan keluh kesah saya ke dia tentang susahnya menginstal Debian beserta repositorynya. Seperti itu setiap hari, hingga dia memberangkatkan diri untuk program test Kediri Kertosono. 

Alasan kenapa Mas Bowo bisa pandai dalam bidang teknologi, bisa jadi karena dia dulu berada di dalam lingkungan previliged. Berada di lingkungan dimana sekolah dan kawan kawannya memiliki tekad yang sama, dan fasilitas yang memadai. Saya terkadang iri, tapi bukan dengki. Saya berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan apapun yang ada sekarang. Saya duu sempat terkagum kagum, terhadap sekolah Mas Bowo karena mendapatkan support langsung dari lembaga teknologi yanga ada di Jerman. Katanyam itu merupakan hadiah dari murid yang mengikuti lomba Web Design disana. Jujur, saya amat sangat menginginkan kesempatan itu

Namun, apa gunaya menyesali dan hanya  berandai andai. Berandai andai apa jadinya saya kalau saya bersekolah di luar dan mendapatkan akses pendidikan lebih baik. Mungkin saya sekarang akan disibukkan oleh banyak projek teknologi yang hebat. Namun, setelah saya merenung dari hari ke hari, dimanapun tempat saya nyaman untuk merenung. Ternyata keadan yang saya alami saat ini jauh lebih berharga. Karena saya dapat mempelajari ilmu agama sekaligus keduniaan. Setidaknya saya gak ketinggalan jaman/kudet

Kini Mas Bowo menjadi guru di sekolah dimana ia bersekolah dulu. Faktor relasi juga menjadi kenapa ia kini sesukses itu, menurut saya. Bgeitu pula kerja keras yang ulet sehingga kemampuan Mas Bowo bisa menyamai guru guru yang lain, yang memiliki gelar sarjana. Sedangkan Mas Bowo tidak. 

Saya membaca status WA yang pernah ia lontarkan. Katanya, projek aplikasi anime yang ia dulu bangun, menjadi pengganti ijazah. Menjadi jaminan bahwa ia mampu mengajar di sekolah tersebut. Ia benar benar mahir dalam bidang teknologi, bahkan saya berani mengatakan keahliannya didapatkan langsung di lapangan!

Saya masih berhubungan baik dengan beliau. Meskipun, pernah sedikit kami berdebat. Mas Bowo adalah orang satu satunya yang selalu menjadi perantara sharing saya tentang ilmu keduniaan, termasuk teknologi. Cara ia melihat dunia juga saya rasakan mirip dengans saya (mungkin saya hanya kegeeran). Namun, begitu adanya.

Harapan

Berkuliah. Harapan saya satu satunya bisa mendapatkan pendalam jauh lebih dalam programming dan segala hal terkait itu adalah dengan berkuliah. Setelah saya mondok, saya ditugaskan untuk mengajar di sebuah pondok pesantren. Kesan orang orang terhadap saya bahwa saya adala seorang kutu buku dan gamer belom bisa dihilangkan. Bahkan teruntuk murid murid yang saya asuh. Dan embel embel saya adalah seorang gamer menjadi topik yang menyenangkan untuk mendekatkan diri saya kepada anak anak. Anak anak selalu suka apabila saya bercerita tentang games dan film. Berbeda dengan guru guru lain. Menurut mereka, guru guru lain tak ada yang segaul saya. Saya merasa tersanjung, namun terkadang kasihan terhadap diri saya sendiri. Saya ingin kesan anak anak kepada saya, adalah saya adalah guru yang bisa memberikan contoh bukan malah guru yang gemar bercerita tentang pahlawan super di semesta Marvel.

Di sela sela saya mengajar, saya diam diam mengikuti kursus online. Saya melakukan ini, karena saya sadar betapa kurangnya materi yang saya pahami selama tiga tahun bersekolah. Tiga tahun

Saya terpaksa memperdalam ilmu matematika. Hal yang pastinya wajib saya pahami jika ingin menjadi programmer. Saya memilih Zenius karena saya merasakan pembelajaran yang berbeda dan diselingi dengan konsep sehingga saya bisa sangat mengerti tentang matematika dan segala ilmu pengetahuan. Juga, saya sering menonton channel channel pendidikan untuk menambah wawasan saya, entah politik, literasi, hinggan filsafat. 

Semua itu saya kerjakan dengan berbagai macam kendala. Dimulai dari jawal saya mengajar, membagikan amal solih dan menderes materi tafsir alquran untuk kemudian saya sampaikan kepada anak anak. Jadwal kosong adalah waktu yang sangat berharga apalagi jika terjadi di pagi atau malam hari, karena saya bisa mempelajari ilmu ilmu ini dengan leluasa. 
Post a Comment (0)
Previous Post Next Post